Category Archives: Opini

Lontara Powada Adaeng-Ngi Indal Patara

Transliterasi oleh

Drs. H. Andi Badaruddin Buraerah

Dari lontaraqnya pammatuangekku Attabe, Wettee Panca Lautang

Ripammulai rampe-rampe-i Lontaraq powada adaeng-ngi INDAL PATARA.

Ritette-i genrang arajang-nge sompani Perdana Menteri-e makkada jajiang-ngi anak permata mattapa seajitta. Napada marennu manengna To maegae engka-e takkappo. Nakkadana Arung-nge topada tama wanuwa-E mitai paramata mattapana SAMATAPURA. Tessiagato ettana pada Iettu’ni napada menre’na ri salassa-E, massuni RAJA BOKORO MABESPAN passaniyasang-ngi kadera sibawa waE ri cere’ ulaweng-nge ribelo-beloi paramata ako’. Natettong-na datuwe SAMATAPURA sibawa tomaegana pakarajai, nakkatenni-ni limanna napatudang-ngi ri kadera ulaweng penno-we ratna mutumanikam, napada marennu manengna To maraja-e engka-e takkappo ri wanuwa-e Samatapura, nasaba marennu manekki ri wettu jajiangetta anak paramata mattappa, nasaba namaseitta muwanneki puwang Allah taala. Nakkadana Raja Bokoro: “E…siajikku rennumani mengkaiyya’ sibawa asauk kinin nawang”.

Naiyya sininna lise’na Salassa-e tessi tolingeng teppa timunna tau mega-e. De-na nappisau oni-oni-e, maggambo’ni anak karungnge, serene bone bolae, jagani To Maraja-e,makkelon-ni Dayang-DayangE, enreng-nge tau makessing-nge saddan na. riyakkani pattowanan na Arung – nge. Alamassiya- siya muwa tedong tedong ritunu , saping, bembe’ bembala, jonga, manu’, itik. Continue reading


Daulat Rakyat Ditangan Oportunis

Oleh: Adit Paturusi

Penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak (proporsional terbuka) sesuai keputusan MK, menjadikan para caleg yang semula mendapat nomor sepatu, kini termotivasi dan seperti mendapat mesiu untuk meluncur. Sebaliknya urutan nomor “jadi” yang biasanya menjadi bos —menunggu setoran suara dari namor urut di bawahnya— kini harus turun langsung ke lapangan cari-cari muka.

Persaingan untuk merebut suara terbanyak pun kini semakin berat, bukan hanya berebut dengan caleg partai lain tapi juga dengan rekan satu partai.

Dengan sistem proporsional terbuka ini, diharapkan akan lahir anggota dewan dari tokoh-tokoh masyarakat yang berkualitas dari berbagai sisi, baik dari segi ilmu pengetahuan dan wawasan maupun akhlak.

Tidak bisa dipungkiri bahwa anggota dewan yang selama ini lahir dari kendali elit parpol, sebagian besar orang ‘bisu’ ‘tuli’ dan ’sakit’. Tidak heran jika hanya Datang, Duduk, Diam, Dengar, dan Duit (5D).

Kalaupun ada yang kelihatan sibuk, itu hanya urus KKN, perjalanan wisata yang dibungkus kunker, bintek dan perjalanan dinas lainnya. Meski ada satu-dua orang yang kadang-kadang berteriak, tapi suaranya tenggelam dibalik nyanyian lagu setuju oleh para oportunis-pragmatis. Bahkan kadangkala teriakan itu juga bukan dilatarbelangi kepentingan rakyat, tapi lebih dominan kepentingan pribadi atau kelompok.

Harapan berbagai pihak lahirnya anggota dewan yang anti KKN dan bersuara lantang —melalui suara terbanyak— tampaknya akan terhambat oleh pemilih irasional dan tradisional (pragmatis, fanatisme dan primordial) yang jumlahnya masih mayoritas.

Dengan realitas seperti itu, maka anggota dewan yang selama ini lahir dari kolusi, nepotisme dan koncoisme para elit politik akan tergeser dan digantikan tokoh-tokoh lokal dan punya modal. Meski lahir dari ‘rahim’ yang berbeda, namun kualitas, kapabilitas dan integritasnya kemungkinan tidak jauh berbeda.

Dengan pendekatan pragmatisme, fanatisme dan primordialisme, seorang caleg yang tidak kapabel dan oportunis tapi punya uang, bisa melenggang masuk legislatif.

Dari penuturan sejumlah caleg dan pemantauan di masyarakat, mayoritas pemilih menjatuhkan pilihan berdasarkan tiga alasan yakni: Pertama, karena fanatisme terhadap seorang tokoh, baik tokoh nasional maupun lokal; Kedua, karena hubungan kekerabatan dan pertemanan; Ketiga, karena diberi bantuan materi baik secara pribadi maupun kelompok.

Salah serang caleg menuturkan pengalamannya saat melakukan sosialisasi di masyarakat. Ketika memaparkan komitmen dan program kerjanya 5 tahun ke depan jika terpilih jadi anggota dewan, masyarakat menanggapi dingin.

Menurut sebagian masyrakat, jurus program 5 tahun itu jurusnya calon bupati, calon gubernur atau calo presiden. Kalau caleg cukup menggunakan jurus 5 detik. Maksudnya, kata sang caleg kurang mengerti. Ternyata yang dimaksud jurus 5 detik adalah 3 detik mencabut dompet dan mengambil lembaran uang, 2 detik menyodorkan.

Di lain pihak, sejumlah masyarakat yang ditanya alasan memilih seorang caleg, sebagian besar menjawab karena hubungan kekerabatan dan pertemanan atau karena mengagumi tokoh tertentu.

Meski demikian, sebagian kecil menjawab bahwa dia memilih seorang caleg karena cerdas, bersih, jujur dan amanah. Ketika ditanya apakah tidak mengetahui visi-misi partai dan caleg yang akan dipilih, sebagian besar mengaku tidak tahu dan tidak penting.

Mereka menilai, semua itu hanya teori dan kebohongan. Lihat saja statmen-statmen para caleg di baliho dan pada saat kampanye, semua tampil seperti pahlawan sejati. Setelah terpilih, apa yang diperbuat untuk rakyat? Saya lihat, sebagian besar justru sibuk ber-KKN-ria, melancong yang dibungkus dengan studi banding, bintek dan perjalanan dinas lainnya. Sebagian lainnya hanya datang, duduk, diam,dengar, dan duit, selanjutnya ramai-ramai berdiri menyanyikan koor lagu setuju.

Selain sikap pragmatis sebagian masyarakat seperti itu, secara implisit juga mengangdung makna apatis dan skeptis. Sebagian masyarakat tidak lagi percaya pada fungsi dan peran anggota dewan dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat. Kalau pun terpaksa memilih seorang caleg bukan lagi berdasarkan pertimbangan rasionalitas tapi karena imbalan materi, kerabat dan fanatisme buta.

Dengan mengabaikan pertimbangan kualitas, kapabilitas dan integritas dalam memilig caleg, maka kedaulatan rakyat akan kembali tergadai di tangan orang-orang ’sakit’, ‘buta’ dan ‘tuli’ dan terperangkap di lingkaran oprtunis-pragmatis. Wallahu a’lam bish shawab.