Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya. Sejauh mana sikap penghargaan kita terhadap jasa mereka dalam membela dan mempertahankan kemerdekaan sepertinya masih perlu dipertanyakan. Di tengah hiruk pikuk pembangunan dewasa ini, banyak generasi muda kurang mengenal sejarah bangsanya termasuk pahlawannya. Untuk menumbuhkan rasa menghargai tentu terlebih dahulu didahului rasa mengenal.
Dari Sulawesi Selatan, khususnya dari Kota Parepare misalnya kita mengenal pahlawan nasional yang gagah berani, Andi Abdullah Bau Massepe. Gajah mati meninggalkan Gading, Manusia Mati Meninggalkan Nama. Demikian pepatah Melayu yang sering orang ucapkan ketika seorang sosok manusia gugur tetapi meninggalkan nama yang harum. Andi Abdullah Bau Massepe, nama yang patut dikenang karena sepak terjangnya dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Kisah heroik yang dilakukan Andi Abdullah Bau Massepe dalam mepertahankan harga diri dan martabat bangsanya telah mengisi lembaran dalam historigrafi Indonesia. Apa yang dilakukannya selama 60 tahun lalu adalah peristiwa sejarah yang obyektif yang tak dapat kita saksikan kembali. Dari jejak-jejak sejarah dan catatan tentang sepak terjang putra bangsawan Bugis yang satu ini, semangat juang dan pengabdian kepada bangsanya tidak perlu diragukan. Pendiriannya tegas dan kecintaannya kepada negara telah diketahui banyak orang, meski sikap kesatria tersebut pada akhirnya ditebus dengan nyawa.
Ia adalah seorang bangwasan yang merakyat. Kedekatannya kepada rakyat mewarnai tingkahlakunya sehari-hari. Sebagai seorang Datu, tugas dan tanggung jawabnya terasa berat, namun hal itu dilaluinya dengan penuh rasa tanggung jawab. Saat mendengar berita gembira proklamasi yang dikumandangkan oleh Soekarno, langkah pertama yang dilakukannya adalah membentuk tim pemerintahan. Disepakati mengubah SUDARA menjadi BPRI (Badan Penunjang Republik Indonesia) pada tanggal 29 September 1945, yang bertujuan mempertahankan dan berdiri di belakang Republik dengan pimpinan tertinggi Andi Abdullah Bau Massepe.
Upaya Belanda yang berusaha kembali menancapkan kukunya di Indonesia termasuk di Sulawesi Selatan membuat para raja dan kelompok bangwasan yang anti Belanda mengadakan pertemuan di Jongaya tanggal 15 Oktober 1945. Pertemuan tersebut di hadiri Andi Djema (Luwu), Pajonga Daeng Ngalle, Raja Gantarang, Andi Sultan Daeng Raja, Raja Mandar, Andi Abdullah Madjid, Raja Balanipa, Ibu Depu, Andi Makkasau, Arung Galireng, dan Andi Abdullah Bau Massepe. Pertemuan tersebut menghasilkan satu ikrar bersama yaitu berada di belakang Republik.
Setelah pertemuan Jongaya, tidak berapa lama kemudian tepatnya di Bulan November di laksanakan pula pertemuan para Raja se Afdeling Parepare atas prakarsa Andi Abdullah Bau Massepe. Belanda kemudian berupaya memperlemah semangat dan kekuatan pro Republik. Pada bulan Oktober 1945, tentara Australia mengeluarkan ancaman akan menembak mati setiap orang yang terbukti memiliki senjata api termasuk pedang, keris, badik dan tombak. Dalam rangka mempersempit kegiatan yang dilakukan Dr. Ratulangi dikumpulkan raja-raja seperti Bone, Gowa, Luwu, Sidenreng, Maloesitasi, Balanipa, Bonthain, Galeong, Pangkajene, Bulu-Bulu, Binamu, Macege, Alla, Soppeng, Wajo dan lain-lain. Namun pertemuan tersebut tidak membuahkan hasil karena ada sejumlah raja yang berpihak kepada Republik.
Belanda secara pelan tapi pasti berupaya untuk tetap menekan para pimpinan swapraja untuk meneruskan kerjasama dengan mereka. Pada tanggal 11 hingga 12 Maret 1947 misalnya, sebanyak 12 raja yang pro Belanda dikumpulkan di Watampone. Mereka itu adalah Arumpone, Datu Soppeng, Adattuang Sawitto, Arung Sopengriaja, Maradia Tappalang, Raja Gowa, Aru Matowa Wajo, Adattuang Sidenreng, Aru Malusetasi, Aru Alla. Sementara dari tiga kerajaan yang ada di Sulawesi Tenggara dewasa itu, yakni Buton, Muna dan Laiwui, hanya Sultan Buton dan Raja Laiwoi yang hadir.
Sebelumnya, melihat situasi politik yang tak menentu, kelompok bangwasan yang ragu akan kedudukan akhirnya memutuskan untuk kembali meneruskan kerjasama dengan penguasa baru. Namun, hal itu tidak mengecilkan semangat juang kelompok bangwasan pro Republik, bahkan mereka terus melakukan berbagai perlawanan. Bahkan, perlawanan muncul di mana-mana. Akhirnya Belanda memutuskan menangkap mereka. Dr Ratulangi dan Lanto Daeng Pasewang diasingkan di Irian Barat. Pada tanggal 8 November 1946 Andi Mapanyukki ditangkap dan diasingkan di Rante Pao (Tana Toraja). Kemudian berturut-turut Andi Pangerang Petta Rani, Andi Baharuddin, Sultan Daeng Raja Baharuddin (Karaeng Pangkajene), Andi Abdullah Bau Massepe, Andi Pawelloi, Andi Solippase, Andi Hamzah, Andi Abdullah dan Andi Suppa juga ditangkap oleh Belanda.
Andi Abdullah Bau Massepe sendiri ditangkap tanggal 17 Oktober 1946 sekitar pukul 13.00 Wita dan selanjutnya di bawa ke Makassar. Pada tanggal 15 Januari 1947 Andi Abdullah Bau Massepe dipindahkan ke Pinrang dalam rangka pemeriksaan lebih lanjut. Pada tanggal 2 Februari 1947 ia ditembak mati atas keyakinan jiwa kemerdekaan yang bergelora dalam dirinya yang tak tergoyahkan. “Dan saya berkeyakinan bahwa jikalau bukan saya yang menikmati kemerdekaan, maka anak-anak sayalah Insya Allah kelak merasainya bersama-sama pemuda yang sedang tumbuh,” demikian salah satu pembelaannya sebelum ia ditembak mati.
Begitu teguh pendiriannya, sehingga dalam sebuah kesempatan Kapten Westerling yang dituduh bertanggungjawab atas korban pembunuhan 40.000 jiwa di Sulawesi Selatan, memberikan pengakuan dan penyampaian rasa hormatnya kepada isteri Andi Abdullah Bau Massepe. “Suamimu Abdullah Bau Massepe adalah jantan dan laki-laki. Ia bertanggungjawab atas semua tindakannya. Ia tidak mau mengorbankan orang lain demi kepentingan sendiri. Sikap jantan itu sangat saya hormati”. (ode)
*) Materi sebagian disarikan dari tulisan saudara Drs. Suriadi Mappangara, M. Hum yang berjudul “ANDI BAU MASSEPE Seorang Pejuang yang Satu Kata dengan Perbuatan”. Bahan materi Seminar Kejuangan Bau Massepe yang dilaksanakan pada tanggal 7 Februari 2004.
You must be logged in to post a comment.